Kisah Pilu Wanita Lamongan dengan Lima Anak Yang Ditinggal Suaminya Meninggal, Jual Tikar Keliling Jombang

Tuesday, 16 January 2024
Kisah Pilu Wanita Lamongan dengan Lima Anak Yang Ditinggal Suaminya Meninggal, Jual Tikar Keliling Jombang
Kisah Pilu Wanita Lamongan dengan Lima Anak Yang Ditinggal Suaminya Meninggal, Jual Tikar Keliling Jombang
 
Siang ini terik, panas matahari terasa seperti berada tepat di atas kepala. 
 
Seorang wanita yang sudah nenek-nenek asal Lamongan berjalan sambil menggendong tikar pandan di punggungnya.

Menyusuri Jalan KH Wahid Hasyim Jombang menuju Alun-alun Jombang.
 
 
Sempat berhenti dan duduk di trotoar perempatan barat Alun-alun sambil menghilangkan dahaga. 

“Setiap hari keliling Jombang, mulai dari Pasar Legi terus saja jalan muter. Ini menawarkan tikar pandan,” kata Asma (68), Selasa (16/1/2024)

Hampir setiap hari warga Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur itu singgah ke Jombang untuk menjajakan tikar pandan.
 
Dengan cara berjalan kaki sambil menggendong tikar diikat pada punggungnya dengan sebuah kain jarit atau kain batik.

Kain jarit sudah terlihat sangat lusuh. Seperti membuktikan, bahwa Asma telah memanfaatkan kain selama puluhan tahun untuk mengikat barang dagangan.

“Saya sudah jualan begini sebelum punya cucu. Tepatnya saat bapaknya anak-anak sudah tidak ada, meninggalkan kami,” kata Asma sambil tersenyum simpul.
 
 
Menegaskan bahwa dia telah menerima segala jenis takdir, meskipun getir.

Pikirannya melayang ke masa lampau, saat pertama kali nekat jual tikar keliling mengikuti jejak bibinya. 
 
Semenjak ditinggal mati sang suami puluhan tahun lalu, ia memutuskan tidak menikah. Menjadi orang tua tunggal untuk kelima anaknya.

“Suami saya meninggalkan saya dan ke lima anak kami, saat itu paling tua masih SMA dan paling kecil  TK,” tuturnya.

Dalam pikirannya saat itu bukan lagi menikah supaya ada yang menghidupinya sekaligus anak-anak. 
 
Akan tetapi bagaimana dia berjuang semaksimal mungkin untuk memberikan kehidupan yang layak bagi kelima buah hatinya.

“Waktu itu anak-anak masih kecil, bimbang sebenarnya, mereka membutuhkan saya sebagai ibunya di rumah. Tapi saya harus mencukupi perekonomian, sekolah anak-anak,” bebernya.
 
Baca Juga: Viral, Pemuda di Ponorogo Jumawa Untuk Ditilang Karena Pakai Knalpot Brong, Begini Akhirnya

Sekarang semua anaknya sudah berhasil ia sekolahkan hingga tamat SMA.
 
Saat ini mereka sudah berumah tangga dan memiliki keluaraga masing-masing.

“Cucu saya sudah ada yang lulus SMA, ada yang SMA, paling kecil SD kelas 5,” sebutnya.

Ia mengaku sudah sering ditegur anaknya supaya berhenti berjualan.
 
Tapi karena alasan ekonomi dan rasa bosan yang tidak bisa diatasi.
 
Nenek tua yang harusnya istirahat di rumah itu ngotot tidak ingin merepotkan anaknya dan terus berjualan.

“Sebenarnya anak saya melarang, ya bagaimana namanya nggak punya dan bosan juga di rumah. Cucu udah pada besar-besar,” jelasnya.
 
Baca Juga: Beri Motivasi, Rombongan Kapolres Blitar Kota Besuk Anggotanya yang Dirawat di RS Budi Rahayu

“Kalau saya punya lo, ngapain juga saya jualan tikar,” imbuhnya.

Dari senyumnya setiap kali bercerita, perempuan tua ini seperti sudah siap menghadapi apapun persoalan yang sedang dan akan dia hadapi. Dengan lapang dada. 

Bagaimana tidak, setiap hari dia bersama bibinya menempuh perjalanan dari Kabupaten Lamongan menuju Jombang dengan menumpang truk besar. Membayar Rp 30 ribu - Rp 35 ribu sekali jalan.

Naik dari daerah tempat tinggalnya kemudian turun di Pasar Legi.
 
Lalu singgah di sebuah surau tak jauh dari situ untuk menitipkan barang dagangan.

“Hari ini saya bawa 13 sedikit aja, karena belakangan ini sepi. 10 saya tinggal di Mushola dan 3 saya bawa keliling,” sebutnya.

Hari ini dia sudah berkeliling mulai dari Pasar Legi, menuju Jalan KH Wahid Hasyim, kemudian ke Alun-alu dan beristirahat sejenak.
 
Baca Juga: Tegakan WiFi atau Kabel Swasta yang Berada di Aset Pemkab Ponorogo Bakal Kena Sewa, Kominfo : Maret Sudah Dimulai

“Tapi ini tadi belum laku sama sekali saya berhenti di sini istirahat. Lihat banyak sekali motor itu lo saya takut,” ucapnnya.

Memang siang itu perempatan barat Alun-alun sedangan sangat sibuk. 
 
Ratusan kendaraan menumpuk, semuanya tidak sabar untuk segera menuju tujuannya masing-masing.

Terlihat suasana mulai lengang dan terik siang mulai bersahabat, tidak sepanas sebelumnya. Asma hendak meneruskan perjalanan. 

Setelah berjalan nanti ia kembali lagi ke Mushola temapatnya menitip tikar sekalian sholat dan tidur.
 
 Selanjutnya pulang ke Lamongan, tapi meninggalkan barang dagangan di Mushola untuk besok dijual lagi.

“Kalau masih ada saya titip dulu di Mushola. Sekiranya habis saya bawa lagi besok, tapi kayaknya besok jual yang tersisa ini,” lanjutnya.

Untuk satu tikar ukuran besar ia membanderol Rp 80 ribu hingga Rp 90 ribu, untuk ukuran kecil Rp 50 hingga Rp 60 ribu. 
 
Baca Juga: Jalan Brosem Kota Batu Digelontor Lagi Rp 9 Miliar, Ini Targetnya

Penghasilan yang dia bawa pulang setiap haripun tidak menentu.
 
 Kadang tidak membawa sama sekali. Terkadang Rp100 ribu sampai Rp 300 ribu.

“Kadang belum habis gini saya sudah pulang, kadang Rp100 ribu sampai Rp 300 ribu. Itu nanti uangnya diputar lagi untuk modal dan sebagian lagi untuk kebutuhan,” pungkasnya.

Kemudian tubuh ringkihnya meninggalkan trotoar, merapatkan gendongan dan kembali melempar senyuman tegar. Kembali berjalan menyusuri jalan. 
 
Reporter Agung Pamungkas
 
Editor Achmad Saichu

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: koranmemo.com

Komentar

Artikel Terkait

Terkini